Tujuh puluh empat tahun merupakan umur yang terbilang langka untuk umat Nabi Muhammad SAW maka menjadi manusia yang bermanfaat adalah wujud rasa syukur kita kepada Allah SWT. Begitulah Abah memaknai bonus kehidupan dengan senantiasa berbuat kebaikan.
KH. Sanwani Aziz atau kerap dipanggil Abah oleh keluarga dan lingkungan sekitarnya tak berleha-leha menghabiskan waktu diusianya yang sudah senja. Ia masih aktif dan sangat bersemangat dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada lingkungan sekitarnya. Tepatnya lima puluh tujuh tahun yang lalu Abah berinisiatif untuk membuat Madrasah semi MI (Sekolah Agama Setara MI). Keberadaan sekolah pun sudah mengalami perpindahan selama kurang lebih empat kali mulai dari rumah pribadi, rumah kakeknya sampai sekarang berada tanah wakaf yang berupa persawahan dengan luas kurang lebih 200M dari pintu air. Hal ini disebabkan karena bertambahnya murid sedangkan akses sekolah masih sangat sedikit.
Pada tahun 1994 Abah dan keluarganya membuka MI yang berpisah dengan Madrasah Diniyah agar pembelajaran menjadi lebih efektif. Dua tahun setelah itu yaitu tahun 1996, mereka kembali membuka pendidikan setara SLTP dengan nama MTS Ashabul Maimanah Ragas. Beberapa wadah pendidikan tersebut berada di bawah Yayasan Ashhabul Maimanah.
Dalam sambutannya, beliau ingin sekali mengembalikan anak-anak remaja kembali dekat dengan Al-Qu’ran. Tak banyak Ia temui anak-anak yang sudah kehilangan rasa malu. Pergaulan sangat bebas hadir di lingkungan mereka sedang peran teknologi seperti media sosial sangat mendominasi. Di samping itu, jarang ditemui para remaja yang aktif melantunkan bacaan Al-Quran di Mushala/Masjid saat subuh atau maghrib tiba. Terdengar pula pernikahan dilakukan di bawah umur karena rusaknya pergaulan. Dalam usianya menuju delapan puluh tahun, Abah ingin menghadirkan pesantren yang dapat memberikan lingkungan yang baik dan membentuk akhlak Rasulullah SAW. Abah bercita-cita mewujudkan Pesantren An-Nidzam ditengah-tengah mereka.
Sebuah keteladanan dari Abah yang hanya seorang petani dapat memberikan kontribusi yang besar kepada Negeri. Abah bukan hanya sukses menghadirkan pendidikan untuk warganya namun juga berhasil mendidik anak-anaknya menjadi teladan di masyarakat. Kelima anaknya kini ikut serta dalam berkontribusi untuk kelangsungan belajar mengajar di sekolah tersebut. Semua anaknya berkewajiban untuk mengabdi di sekolah. Satu hal yang lebih membuat hati teriris saat guru-guru di luar sana memikirkan bagaimana agar semakin meningkat taraf hidupnya dengan menjadi guru, tetapi mereka melakukannya tanpa mendapat imbalan/gaji. Bahkan sekolah ini pun digratiskan untuk anak didik yang mayoritas dari Yatim dan juga Dhuafa. Saat Rumah Sosial Kutub menanyakan dari mana sumber pendanaanya, mereka dengan senyum dan santai menjawab dari Allah SWT.
Begitulah seharusnya pribadi seorang guru yang dibutuhkan agar dapat melahirkan generasi yang baik. Mereka tak menjadikan guru sebagai profesi namun sebuah pengabdian kepada agama dan negeri dalam melahirkan generasi-generasi yang Islami. Semoga ALlah SWT memberikan keberkahan atas setiap perjuangan Abah dan keluarga.